Watak Pemarah menjadi Penyabar_True Story

Serial "Mengurai Benang Kusut Kehidupan"

Bagian II:
Merubah Watak Teman. Dari Pemarah menjadi Penyabar
(True Story)

Rasanya seperti mimpi melihat perubahan yg begitu besar dalam diri temanku. Dia yg dulunya begitu emosional, pemarah, bahkan kalau marah-marah kepada istrinya semua orang di sekitar rumah mendengar, kini dia menjadi orang yang sangat penyabar dan tidak pernah marah-marah lagi kepada istrinya.

Hebatnya lagi, entah ada kaitannya atau tidak, faktanya kini bisnisnya makin sukses. Semua itu tidak lepas dari “nasihat”-ku kepada temanku itu setelah aku sendiri berubah gara-gara membaca buku “The Quantum Happiness” karya Deepak Chopra dan Vikas Malkani.

Ceritanya begini.

Suatu pagi, ketika aku sedang bersih-bersih mobil, temanku mendatangiku. Setelah ngobrol ke sana-ke mari, sampailah pada suatu “episode” dimana dia menceritakan kenapa dia suka marah-marah pada istri, padahal sebenarnya dia malu juga, karena sampai didengar tetangga.

“Saya seringkali jengkel sama istri, Masalahnya, dalam banyak hal dia itu tidak sesuai dengan kehendakku”, kata temanku tadi (sebut saja Mr. X) dengan sangat serius.

“Misalnya, dalam masalah anak. Seringkali istriku itu menuruti kemauan anak. Terlalu longgar. Sementara saya tidak mau seperti itu, karena anak bisa jadi pemalas, hanya suka main, tidak mau belajar, dsb”, Mr. X menambahi dengan nada mulai meninggi..

“Kalau sudah begitu, biasanya saya marahi istri saya. Celakanya, istri saya juga tidak mau kalah. Jadinya terus ramai”, imbuhnya. “Tapi, istriku juga tidak kehilangan akal. Karena tahu kalau di pasar saya tidak mau marah-marah, maka kalau lagi di pasar dia berbuat semaunya. Misalnya, dia membeli barang yg seharusnya tidak perlu dibeli. Baru setelah sampai di rumah, aku marahi habis-habisan. Jadinya, ya, bertengkar lagi. Begitu terus. Berulang-ulang. Jadinya rumah saya seperti neraka!” imbuhnya bersemangat.

“Kalau sudah marah-marah, apakah masalah jadi selesai? Istri lalu menjadi penurut? Dan, apakah Bapak merasa puas, atau justru Bapak merasa kelelahan dan pikiran jadi kacau? Atau mungkin kesehatan menjadi terganggu, misalnya kepala menjadi pusing-pusing?” aku menanggapi.

“Ya, memang puas kalau sudah marah-marah, karena bisa mengeluarkan perasaan jengkel. Tetapi masalah memang tidak selesai. Istri juga makin jadi “pemberani”. Biasanya kepalaku terus jadi pusing, Pak” keluhnya.

“Mr. X”, kataku mencoba menasihati tanpa harus menjadi seperti seorang penasihat. Atau lebih tepatnya disebut sharin”. “Sebelumnya saya juga seperti Bapak ini. Bahkan mungkin lebih parah, sebab kalau lagi marah-marah saya kadang sambil memukul atau menendang daun pintu kamar”, kataku berusaha meyakinkan bahwa “kita senasib”.

“Tetapi kemudian semua berubah setelah saya sendiri merubah diri saya. Saya yang dulunya emosional, mudah marah, dan selalu “memaksakan” istri saya menjadi seperti yang saya inginkan, kini menjadi saya seperti saya yang sekarang ini. Caranya adalah saya mencoba dan berusaha melihat segala sesuatunya tidak hanya dari sudut pandang saya sendiri, tetapi juga dari sudut pandang istri saya. Saya menjadi tidak emosional, tidak lagi memaksa istri mengikuti keinginan / selera saya. Saya tidak lagi negatif thinking, tetapi positive thinking”, saya mulai “berkotbah”.

“Dan anehnya ya, Pak. Justru dengan begitu istri saya pun kemudian berubah di mata saya. Dan dalam banyak hal, dia juga menjadi seperti yang saya inginkan. Khususnya yg terkait dengan sikapnya, baik terhadap saya maupun terhadap anak-anak”, kataku meyakinkan.

“Tapi, kelihatannya saya, tuh, sudah wataknya, koq, Pak. Mungkin sudah dari sono-nya, ya, saya, tuh, ditakdirkan menjadi pemarah”, katanya berkilah.

“Pak, takdir itu memang ada. Tetapi kita juga diberi pilihan bebas oleh Tuhan untuk menentukan atau mengubah takdir. Masalahnya, kita punya kemauan kuat apa tidak untuk itu!” Aku mencoba meluruskan. “Bapak pernah dengar kisah tentang tentara jepang yang hanya seribu orang bisa mengalahkan tentara musuh yg jumlahnya 5 kali lebih banyak?” tanyaku.

“Belum”, jawabnya.

Kisah Tentara Jepang

Maka akupun bercerita tentang kisah tentara Jepang yang saya baca dari buku The Quantum Happiness itu. “Ceritanya begini, Pak!” aku memulai.

Suatu ketika komandan pasukan tentara Jepang sangat getir melihat kenyataan bahwa jumlah tentaranya hanya seribu orang. Sementara tentara musuh jumlahnya lima kali lipat lebih banyak. Dia merasa bahwa hari itu adalah takdir mereka untuk mati, karena rasanya tidak mungkin bisa mengalahkan musuh dalam jumlah yg jauh lebih besar itu.

Maka dikumpulkannya tentaranya, dan dia pun mengatakan pada prajuritnya bahwa kelihatannya hari ini adalah takdir kita untuk mati, karena kita harus berperang melawan pasukan yang jumlahnya lima kali lebih banyak. Tetapi apapun yang akan terjadi kita tetap harus bertempur, karena hanya dengan cara itulah kita punya peluang untuk menang, meskipun itu sangat kecil dan sulit. Kata Sang Komandan.

Tetapi sebelum bertempur saya akan masuk ke tenda untuk berdoa. Dan setelah itu, aku akan keluar dan melempar koin undi. Apabila yang muncul kepala, maka itu artinya Tuhan menyertai kita, sehingga kita pasti akan menang. Sebaliknya, jika yang muncul adalah gambar ekor, maka memang sudah takdir kita bahwa hari ini kita akan mati. Tetapi, apapun yang akan terjadi, kita tetap harus bertempur, karena hanya itulah satu-satunya peluang untuk kita bisa tetap hidup. Kata Sang Komandan.

Maka masuklah Sang Komandan ke tenda. Lalu berdoa sebentar. Dan setelah kira-kira lima menit, dia pun keluar dari tenda. Disaksikan seluruh pasukannya dia pun lalu melempar koin undi. Apa yg terjadi? Ternyata yang muncul adalah gambar kepala.

Sontak seluruh pasukan pun termotivasi. Semangat mereka kembali membara. Mereka penuh keyakinan, bahwa mereka pasti bisa mengalahkan musuh yang jumlahnya lima kali lebih banyak itu, karena Tuhan ada di pihak mereka. Maka Sang Komandan pun kemudian memimpin pasukannya bertempur. Dan, benar. Mereka akhirnya bisa memenangi pertempuran itu.

Setelah mereka pulang dari pertempuran, Komandan yang satunya mendekati Komandan yang melempar koin undi tadi dan berkata: “Bersyukur, bahwa hari ini Tuhan menyertai kita, sehingga kita bisa mengubah takdir, dan memenangi pertempuran”, katanya sambil merangkul Sang Komandan tadi.

Kemudian Komandan yang tadinya melempar koin undi itu mengeluarkan koin undi yang dilemparkannya tadi dari saku celananya. Dia pun menunjukkan pada temannya itu, bahwa kedua sisi koin undi itu bergambar kepala. Sang Komandan pun berkata kepada temannya: “Masihkah kamu percaya pada takdir?”.

“Pak.” kataku kembali menasihati Mr. X. “Seperti dalam kisah tadi, sesuatu yang sepertinya sudah menjadi takdir, atau watak kita, sebetulnya kita punya pilihan bebas untuk merubahnya. Yang penting adalah kemauan keras kita. Dan saya yakin, Bapak pun bisa merubah sifat emosional atau mudah marah yang ada pada Bapak sejak dulu, asalkan Bapak punya kemauan keras untuk merubahnya. Setidaknya mengatur emosi Bapak. Bapak pasti bisa. Buktinya, jika berada di pasar, Bapak bisa manahan emosi untuk tidak memarahi istri Bapak. Itu sudah membuktikan bahwa Bapak bisa. Iya, nggak, Pak?” Aku bertanya sekaligus meyakinkan.

“Ya. Betul, Pak. Saya akan coba dan berusaha.” sahutnya cukup yakin sambil kemudian ijin pulang.

Perubahan Besar Telah Terjadi.

Dari hari ke hari. Minggu ke minggu. Dan bulan ke bulan setelah sharing pagi itu, saya tidak lagi mendengar suami istri itu bertengkar. Yang jelas, mereka saat ini kelihatan lebih harmonis. Dan, hebatnya lagi, bisnis mereka saat ini nampak makin maju saja.

Selamat temanku.
Kamu telah merubah “takdirmu” sendiri.

***

No comments:

Post a Comment

Use coupon code for $5 off your first coffee purchase- BLOGME5

Baca Kisah-kisah Motivasi Lainnya di Bawah Ini: